Minggu, 29 Juli 2012
Mengingat...
Salah satu tulisan yang selaluuuuu saya baca, untuk mengingatkan saya akan dia, ibu kami. Yang sederhana dengan keinginan sederhananya untuk kami, anak-anaknya...
Menjelang Hari Ibu
setahun sekali
Bulatan di kalender mengingatkan
Akan jasa perempuan yang menyabung nyawa
melahirkan, bertaruh hidup dan mati
sembilan bulan sebelumnya lalui masa lemah yang bertambah lemah
kurang tidur di malam karena berulang menyusui
mengganti popok basah atau sekadar merapatkan selimut
mengusiri nyamuk
berjaga, tak sepicing matapun berani lelap
saat sang jantung hati demam tinggi
menjelang hari ibu
setahun sekali , alarm berdering
mengingatkan akan pengorbanan perempuan
yang giginya tanggal satu demi satu
karena tak mampu membeli susu untuk dirinya sendiri
saat justru mulut-mulut mungil tak pernah kenyang menetek
perempuan sederhana dengan daster lusuh dipakai bertahun
menunda berulang membeli yang baru supaya ada jajan untuk anaknya
Pekan ke tiga bulan penghabisan tahun
seperti mesin memberi pertanda
untuk kembali mengingat
ada seseorang yang berjam-jam terkantuk menemani belajar,
menyodorkan minuman hangat atau penganan
memijiti bahu yang kaku menekuni buku
menderas doa
membasahi sajadah lewat panjang munajat di penghujung malam
prihatin meminta Azza Wajala turunkan malaikat agar lancar kita ujian
lalu tangan lemahnya membesut aliran air di pipi, berbinar mata tersenyum lebar
memeluk erat bahu kita saat kelulusan
sudah lama sekali
dulu, lapang waktu tersedia berhandai-handai
mendatangi Ibu untuk cerita panjang lebar kadang tak jelas arah Barat Timur
ikut tertawa gelak Ibu oleh lelucon bodoh kita,
tapi sabar pula berdiam menerima curahan keluh kesah dan tangisan patah hati kita
lalu kini?
sudi maafkanlah anakmu ini
jika mencukupkan setahun sekali
untuk tersentak mengingatmu
malu-malu menelpon atau mengirim pesan singkat
“selamat hari Ibu, kucinta padamu ”
merasa telah memadai karena membelikan karangan bunga
berganti-ganti, bahan batik, cincin atau apa saja bingkisan untukmu
berkurang rasa bersalah karena engkau mengangguk penuh pengertian
bila banyak alasan kita sampaikan
ada tenggat waktu membuat laporan
ada projek besar dengan keuntungan menjanjikan
ada calon klien prospektif yang harus dikejar
semua berjalan seperti itu, bertahun-tahun bagai kelaziman
hingga hari ini
Terduduk lemas aku, lunglai bagai tulang tak lagi menyangga tubuh
di dekatku seorang sahabat menggerung tangis
meraung di depan jenazah ibundanya
tak berhenti meratap :
“ibu jangan pergi, jangan tinggalkan aku
aku belum bisa membahagiakanmu
tahun depan kita berhaji,
ibu capek? sini aku pijati
Bu jangan meninggal sekarang
ayo bu, kita ngobrol lagi
Bangun Bu, bangun, aku ambil cuti untuk antar kemanapun kau ingin pergi..”
kenapa ibu mesti wafat sekarang?”
Jangankan menghibur sahabat
kelu lidahku tak kuasa bicara apapun
sembilu tajam mengiris-iris hati
tanpa suara, batinku menjerit, merutuki diri
ilahi Robbi
bodoh benar aku karena tak jua tahu
bahwa memuliakan perempuan mulia yang biasa dipanggil ibu adalah mega proyek
bahwa pahala karena berbakti padanya adalah keuntungan tak terbilang
bahwa berkejaran dengan lanjutnya usia ibu adalah deadline
bahwa Ibu amat berharga sebagai “klien” dan
berupaya membahagiakannya adalah bagian dari orientasi “customer satisfaction”
bahwa catatan setiap kegiatan kecil tuk menyenangkan ibu
menjadi “report” yang akan dibawa malaikat
untuk penunaian amanah Nabi : “ ibumu, ibumu, ibumu, utamakanlah”
Duhai Allah
hamba malu untuk meminta
menambah panjang daftar ajuan doa
menyelipkan di antara permohonan agar sukses karir jabatan berlimpah harta
untuk MAMPU MENJADI ANAK YANG BAIK BAGI IBU
masih adakah kesempatan bagi hamba ?
Depok, 21 Desember 2011
Rabu hampir tengah malam, menjelang hari Ibu.
dipersembahkan untuk almarhumah ibu tercinta
& bagi setiap mereka yang masih beruntung mempunyai ibu
Dumilah Ayuningtyas
Pasti kita perna kesal dengan omelannya, perna bosan dengan "perintah2"nya. Disuruh makanlah, nyuci piringlah, belajar masaklah, "anak gadis harus pandai masak, tinggi apapun gelar sekolah kalian tetap dapur harus diurus" omel ibu. Saya, kesal waktu itu. Konsentrasi belajar jadi terbagi karena harus mendengarkan suaranya tapi merasa berdosa kalau tidak mendengarkan nasehatnya.
Pernah juga tak menelpon kalau tak penting. Penting versi saya adalah butuh uang untuk bayar kosan dan bayar kuliah. Maka baru menelpon kerumah. Jarang sekali bertanya bagaimana kabarmu ibu? hari ini makan apa? diladang mengerjakan apa saja? Masihkan ibu panen semangaka yang banyak itu?? Apa semangkanya manis? Bahkan pertanyaan ringan begitu saja saya tidak terpikir untuk mencari tahu.
Sampai ibu terbaring di rumah sakit tersentak hati saya. Apa yang sudah saya lakukan??
Ibu sakit karena terlalu banyak bekerja, ibu sakit karena tidak ada yang menjaga dia dirumah, ibu sakit karena makannya tidak ada yang mengingatkan.
ibu sakit....
Bahkan untuk dirinya sendiri dia kadang lupa, apakah sudah makan yang cukup, gizinya cukup, minum cukup, istirahat cukup. Ibu lupa itu. Jika sudah bekerja di ladang, yang dia ingat, kalau ladang ini berhasil maka anak-anaknya bisa membayar sekolah, bisa membeli pakaian bagus, tidak malu lagi kalau bergaul dengan teman-temannya. Ibu tidak pernah tau bagaimana nilai kami, bagaimana sulitnya kami belajar, bagaimana kami meneteskan air mata hanya karena file tugas kuliah yang hilang dan harus mengetik ulang dari awal. Ibu tidak pernah tau.
Bagaimana ibu bisa tahu, kalau kami bercerita tentang itu semua, ibu tidak akan memahami, ibu bilang "Karena ibu cuma selesai SD, itupun dengan susah payah, bagaimana ibu paham apa yang kalian ceritakan, ibu hanya bisa memberi uang, berapapun yang kalian minta, ibu akan carikan..." Mengalirlah cerita ibu, bahwa kemiskinan membuatnya takut bertanya dan melakukan hal-hal yang menyenangkan. Ibu takut kalau dia sedikit saja bersenang-senang, kami, anak-anaknya tidak bisa membeli buku, membayar sekolah dan membeli baju bagus, karena uang yang dikumpulkan dengan susah payah memanggang kulit ditengah ladang habis untuk hal-hal yang tidak penting.
Itulah ibu kami. Kemiskinan menjadi makanan dan membentuknya.
Kami, bahkan hampir tak merasakan kesulitan hidup yang berarti, karena kami ber-ibu-kan beliau. Makan cukup, susu cukup, uang jajan cukup, sekolah tinggi, dan bekerja ditempat yang baik.
lalu ibu sakit, saya disentil sedikit oleh Allah... Hanya sedikit... Siapalah saya tanpa ibu.
Melepaskan semua pencapaian, untuk ibu, itu bukan apa-apa dibanding dengan semua yang sudah ibu lakukannya untuk kami.
Suatu pagi ibu menangis, saya tanya kenapa, rupanya ibu menangis karena memikirkan sakitnya. Bagaimana kalau ibu sudah tidak ada, kamu jangan nakal, jaga adik-adik, sekolahkan adik bungsumu, ajari dia kalau dia tidak bisa, ibu tidak punya harta yang bisa dibagi, hanya ilmu yg sudah kau raih itulah warisan ibu.... Terus ia menangis sesenggukan.
Demi Allah, beku hati saya, beku sekali...
Akhirnya saya menangis bersama beliau, memijit-mijit kakinya tidak tau apa yang bisa membuat ibu terhibur. "Jangan bicara begitu, sakit ibu tidaklah parah. Asal rajin minum obat dan jangan bekerja terlalu berat, itu sudah cukup." Susah payah kalimat itu keluar dari mulut saya sambil menangis. "Kita akan terus berobat, sampai ibu sembuh..." Hibur saya.
"Penyakit ini susah sembuh, hati ibu akan mengeras dan jadi kanker...."
Ya Allah, ibu berpikir terlalu jauh. Mungkin salah saya yang mengatakan, kalau ibu tidak rajin minum obat penyakit ini akan jadi parah dan bisa jadi kanker. Ini salah saya, jelas salah saya. Rupanya ibu mengingat apa-apa yang saya katakan.
Ya Alloh... Ampuni saya yang belum bisa berkata lembut, tak pandai memilah kata dan belum sensitif pada keadaan ibu..... Pelajaran sangat berharga pagi itu.....
Kini, hasil pemeriksaan terakhir sangat baik, alhamdulillah... Kami atau ibu yang menelpon hampir setiap hari, setiap menelpon minta di do'akan agar semua cita-cita dimudahkan Allah. "Do'a ibu cepat didengar dan dikabulkan Allah bu..." Kata saya... "Iya, tiap solat ibu selalu do'akan"...Nyeeeeeeeeeesss.... Adem banget rasanya:)..
Tadi pagi takziah ke seorang teman yang ditinggal berpulang oleh ibunya... Meninggal karena kanker... Kami saling menguatkan dan mendo'akan.
Dalam hati saya "Apa jadinya saya jika diposisi teman saya ini???.." Beraaaaat sekali pasti...
Betapa beruntungnya saya masih memiliki ibu... Alhamdulillah....
Palembang
Menjelang tengah malam, 29 Juli 2012,
11.39 wib
Utri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar